Memahami Undang-Undang No 19/2002 Tentang Hak Cipta

Penggunaan foto tanpa ijin di ranah maya semakin marak. Yang menyedihkan, kebanyakan dari kasus ini adalah buah dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian, kalau tidak ingin disebut “kebodohan”. Jika kita tidak bisa berharap dari pihak pencuri untuk dengan sadar meminta ijin sebelum menggunakan foto-foto yang bukan miliknya, kita sendiri sebagai pemilik karya selayaknya lah memahami seberapa jauh hukum melindungi karya kita.

UU No. 19/2002 Tentang Hak Cipta dibuat untuk melindungi ciptaan dengan sistem yang sama dengan hukum di negara-negara maju. Ya, karena UU ini memang dibuat atas desakan mereka, ketika Indonesia menjadi satu-satunya negara ASEAN yang masuk ke dalam Priority Watch List, yaitu daftar negara-negara yang melakukan pelanggaran berat terhadap Hak Kekayaan Intelektual, bersama-sama dengan Cina, Argentina dan Rusia. Desakan ini membuat Indonesia meratifikasi TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights – “Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”) dan World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO).

Ratifikasi tersebut melahirkan konsekuensi berupa UU yang kemudian disahkan sebagai UU no 19/2002 tentang Hak Cipta. UU ini dengan kuat melindungi ciptaan dan kepentingan pemiliknya. Mari pahami UU ini agar kita dapat membuat keputusan yang tepat dan terhindar dari tindakan yang kontra produktif.

Intinya:

  • UU No. 19/2002 ini sangat melindungi setiap ciptaan, di mana hak atas karya cipta sudah melekat pada hasil karya begitu ia diciptakan. Sehingga tidak perlu lagi didaftarkan seperti UU sebelumnya. Hanya masalah pembuktian saja jika ada pelanggaran hukum.
  • Hak Cipta berlaku pada ciptaan yang sudah dipublikasikan maupun belum/tidak dipublikasikan, dalam bentuk dan media apapun, termasuk bentuk dan media elektronik, dan ini artinya termasuk situs web.
  • Pelanggaran hak cipta digolongkan sebagai tindak pidana, bukan lagi perdata. Sehingga dia bukan lagi merupakan delik aduan yg harus menunggu laporan seseorang yang dirugikan. Tapi seperti halnya maling ayam, begitu ketahuan, siapapun boleh melaporkannya atau jika polisi kebetulan memergoki bisa langsung ditindak.
  • Sangsi bagi pelanggaran hak cipta cukup berat: penjara hingga 7 tahun dan/atau denda hingga 5 milyar Rupiah! Perhatikan kata “dan/atau”, jadi sangsi ini bisa berlaku dua-duanya.
  • Hak cipta berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah Pencipta meninggal dunia.
  • Ciptaan yang dillindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
      1. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
      2. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
      3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
      4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
      5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
      6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
      7. arsitektur;
      8. peta;
      9. seni batik;
      10. fotografi;
      11. sinematografi;
      12. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan

Kesimpulan:
Setiap pemilik hasil karya yang sah, posisinya sangat kuat ketika ia merasa dirugikan karena dicuri karyanya.

Membuat Pilihan

Ketika karya kita dicuri dengan cara apapun, segeralah membuat pilihan: melakukan proses hukum atau tidak. Jika memilih yang pertama, jangan pernah takut untuk menindaklanjutinya dengan cara yang benar sesuai hukum. Segeralah mengurusnya dan mintalah dukungan moril dari komunitas dan lingkungan. Namun jika anda memutuskan untuk tidak melakukan proses hukum, maka ikhlaskan, ambil hikmahnya dan berbahagialah. Curhat tentu wajar saja, tapi tidak perlu berkeluh-kesah berlebihan. After all, ini pilihan anda sendiri.

Proses Hukum

Proses hukum dapat dimulai dari peneguran, lalu somasi, lalu proses peradilan bila perlu. Untuk ini, kita bisa melakukan sendiri, melalui mediator, atau menggunakan jasa advokat. Mediator adalah orang yang kita pilih yang kiranya suaranya akan lebih didengar oleh pihak yang kita tuntut.

 Proses somasi adalah proses mengirimkan surat resmi meminta perundingan secara baik-baik untuk mencari win-win solution. Jika proses somasi gagal, bisa dilanjutkan ke meja hijau.

Jika anda melakukan proses ini sendiri, biaya bisa murah tapi waktu, energi dan terutama emosi, akan terkuras habis. Trust me.

Anda bisa menggunakan mediator jika kebetulan mengenal seseoarang yang dapat menjadi mediator. Sedangkan jasa pengacara adalah yang paling nyaman, tapi tentu ada biaya yang tidak murah. Tetapi ingatlah, bahwa selalu ada alternatif LBH yang bisa kita gunakan free of charge.

Memang sepertinya melelahkan. Tapi percayalah posisi anda sangat kuat.

Sedikit Berbagi Pengalaman

Saya dan beberapa teman food photographer sudah beberapa kali menghadapi kasus pengambilan foto tanpa ijin, baik untuk konsumsi ranah maya maupun dicetak masal oleh koran, majalah, hingga produsen bahan baku terkemuka dalam skala nasional. Kami menempuh jalur hukum secara baik. Alhamdulillah, sejauh ini semuanya dapat diselesaikan tanpa harus sampai ke meja hijau, disebabkan pihak pelanggar cukup legowo untuk berdialog dan menyelesaikan kewajibannya.

Yang harus disadari oleh semua pihak, terutama pihak pelanggar, adalah bahwa ini masalah penegakan hukum, keadilan dan preseden yang baik. Bukan perkara ikhlas atau tidak ikhlas, memaafkan atau tidak memaafkan. Di belakang UU ini ada berjuta para pengkarya yang dilindungi hak nafkahnya. Di belakang seorang pelanggar terdapat berjuta calon pencuri yang, sengaja ataupun tidak, berpotensi mencuri periuk nasi setiap pengkarya. Hukum harus dipatuhi, keadilan wajib ditegakkan, preseden baik atau buruk akan diikuti hingga akhir jaman.

Seorang pengkarya umumnya berfikir sederhana. Ia hanya ingin karyanya dihargai. Dengan permintaan ijin, atau pencantuman nama, atau sekedar uang lelah sesuai kesepakatan. Ketika penghargaan ini dinafikan, maka ia hanya menginginkan penyelesaian. Bukan lagi dengan sekedar pencantuman nama, tapi sebuah penyelesaian penuh empati dengan mengembalikan haknya yang telah dilanggar. Yang dapat meyakinkan hatinya bahwa pelanggar sungguh menyesal, tidak akan mengulangi, dan tidak akan ada periuk nasi lain yang dicuri setelahnya. Dan ini tidak cukup dengan permintaan maaf. Ada hak yang harus dikembalikan kepada pemiliknya. Sebuah kompensasi. Sebuah penyelesaian, a closure. Untuk haknya ini, ia dilindungi oleh negara. For this closure, he is protected by the law.

Seperti yang saya tulis di blog ketika kasus pencurian pertama foto saya tengah hangat-hangatnya, “I am not digging gold here. I just want to get this over with, so I can look back to all this fiasco and say, ‘well, at least they bought me some dinner’.”

A closure.

Ketika itu, orang-orang menuding saya tidak ikhlas, tidak mau memaafkan, terlalu taking it personal :). Ketahuilah saya sudah memaafkan mereka di hari pertama saya mengetahui setiap pelanggaran. Setiap karya yang lahir melalui saya sudah saya ikhlaskan untuk menjadi manfaat bagi banyak orang sejak detik saya mempublikasikannya. Beberapa kasus tidak saya lanjutkan karena memahami keterbatasan pelanggar. Dan hak cipta yang sesungguhnya adalah milik Allah, bukan?

Namun proses hukum seharusnya tetap berjalan demi keadilan dan preseden yang baik. Demi dikembalikannya hak yang tercuri, setelah maaf diberikan dan foto berhenti ditayangkan atau dibeli.

Apakah saya suka melakukan semua kerepotan ini? Tentu tidak. Namun saya harus melakukannya walaupun saya membencinya. Paling tidak kelak saya bisa mengatakan bahwa saya telah melakukan hal yang benar. Bahwa saya telah melakukan apa yang perlu dilakukan. Tidak berpangku tangan dan menyerah melihat ketidakadilan berlangsung berulang-ulang seperti lingkaran setan. I’ve done the right thing and I’ve done all I can, in my capacity. Melawan ketidakadilan dengan tangan, lidah dan hati. Dan saya menyerahkan tugas yang belum selesai ini kepada pejuang berikutnya.

Riana Ambarsari
Pejaten, ba’da Isya
: merindukan Earl Grey kepul-kepul

Penulis adalah praktisi fotografi, pernah bekerja sebagai asisten konsultan yang terlibat secara dekat dalam proses pembuatan UU Hak Cipta di Indonesia yang melahirkan UU No. 19/2002, mengikuti dan terlibat dalam pelaksanaan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan UU tersebut.

About the author  ⁄ NCC Indonesia

Comments are closed.