Stories & Photos by Wisnu AM
Kalau kita sebut makanan steak, hampir dapat dipastikan sedikit sekali orang yang tidak mengerti itu makanan apa. Demikian pula jika kita sebut bistik. Walaupun tulisannya agak berbeda, tidak sulit untuk menebak bahwamakanan ini masih bersaudara dengan steak. Namun, berapa banyakorangyang mengerti makanan Selat Solo? Barangkali lebih banyak yang menggelengkan kepala, dibanding dengan mereka yang segera mengenali makanan ini.
Belum lama, saya beruntung menemukan tempat makan yang menjadikan Selat Solo sebagai menu a la carte unggulannya. Selama satu setengah jam saya berbincang dengan pemiliknya, sambil “membedah” Selat Solo.
Secara tidak sengaja saya temukan rumah makan ini, ketika mampir untuk minum kopi di lapangan parker stadion Persija, Jl. HOS Cokroaminoto, Menteng, No. telp 021-31903521.
Selesai membayar, saya lihat tulisan besar- Srabi Solo. Wah, ini dia. Tapi kok tutup. Saya catat namanya, Rumah Makan Miroso. Miroso adalah bahasa Jawa, artinya rasa yang meresap. Seminggu saya lupa dengan tempat ini, Sabtunya, tiba-tiba saya teringat rumah makan yang memasang tulisan Srabi Solo ini. Bersama dua jagoan saya, saya datangi rumah makan ini menjelang tengah hari. Woow, lain dari yang lain yang saya temukan adalah deretan nampan berisi makanan yang dapat dikategorikan “rumahan”. Di antaranya ada sayur asam, urap, tahu-tempe goreng. Itu adalah kelompok makanan buffet. Selain itu, ada lagi kelompok a la carte.
Tahu Guling adalah makanan yang saya pesan. Dibanding dengan Tahu Guling versi Yogya, Tahu Guling ini sudah mengalami modifikasi. Mungkin untuk menyesuaikan dengan lidah Jakarta. Tahu Guling adalah makanan yang terdiri dari ketupat, ditambah irisan kol mentah, taoge matang, daun seledri, potongan tahu dan tempe bacem. Sajian ini lalu disiram dengan kuah manis (dari rebusan gula merah encer) dengan dicampur bawang putih dan daun jeruk limau diulek, plus cabai. Di atasnya ditaburi bawang goreng plus krupuk kampung. Rasa bawang putih dan daun jeruk limau membuat makanan ini terasa segar.
Sementara, dua jagoan saya yang sudah “terkooptasi” makanan fast food tidak begitu minat melakukan penjelajahan kuliner dan lebih memilih Srabi dan Sosis Solo.
Satu berkah yang saya temui saat itu adalah pertemuan saya dengan pemilik Rumah Makan Miroso, bapak berusia 59 tahun bernama Wahjoe Widijanto. Saya minta waktu untuk suatu saat bertemu, membicarakan berbagai makanan yang disajikan di rumah makan yang buka Senen-Sabtu dari jam 10-21 ini. Lebih sebulan berlalu, sampai saya teringat lagi pada rumah makan ini. Akhirnya, setelah bikin janji ketemu, saya bertemu lagi dengan pemilik rumah makan yang memasang slogan Serasa Makan Di rumah ini.
Ada pelajaran menarik yang dapat ditarik dari hasil saya ngobrol dengan pak Wahjoe Widijatno, asli Solo ini. Ternyata tidak perlu punya latar belakang formal di bidang kuliner untuk berusaha di bidang ini. Bapak berumur 59 tahun yang masih gagah dan nampak lebih muda dari umurnya ini sebenarnya pernah kuliah sebagai calon dokter. Bekerja cukup lama sebagai tenaga marketing manager di sebuah perusahaan farmasi terkenal, sebelum pindah ke sebuah bank swasta. Sayang, jabatan manager marketing harus dilepas, saat bank itu harus tutup terkena badai krismon tahun 1997. Saat itu lah nalurinya sebagai seorang marketer memberinya ide untuk buka usaha makanan. Jauh dari pengalaman kerja sebelumnya.
Ceritanya, selepas PHK pak Wahjoe kembali ke kampung halamannya, Solo. Ada satu fenomena yang bagi sebagian besar orang (mungkin) terlihat biasa. Namun tidak, bagi mantan marketing manager ini. Yaitu banyaknya mobil berplat nomer B yang memenuhi tempat makan tradisional, terutama pada waktu liburan. Pikiran marketingnya jalan. Kenapa tidak “memindahkan” tempat makan tradisional ini ke Jakarta saja? Orang-orang daerah yang sukses di Jakarta itu tetap saja merindukan masakan “tradisional”. Maka, tanpa pengalaman berbisnis makanan sebelumnya, dibukalah Warung Makan Miroso, di Jl.Gandaria, Jakarta pada tahun 1998.
Makanan utama yang dijadikan maskot adalah Selat Solo, Sate Buntel dan Tengkleng. Semuanya berkonotasi dengan kota Solo. Untuk jajanan, disediakan Srabi Notokusuman. Makanan-makanan itu biasanya “diserbu” orang Solo yang pulang mudik Selain makanan a la carte itu, disediakan juga makanan rumahan untuk buffet. Sayuran asam, sayur being, sayur lodeh, sop ayam adalah jenis sayur yang disediakan. Lauknya? Tahu-tempe goreng, bacem, urap, pecel, ikan dan ayam goreng adalah beberapa makanan yang menjadi menu sehari-hari warung makan yang menawarkan “Serasa makan di rumah” ini.
Dugaan pak Wahjoe tidak salah. Ternyata makanan rumahan pun, jika dikemas dengan baik, juga ada segmen pasarnya. Sejak hari pertama RM Miroso buka, pengunjung sudah penuh. Sebagai “penggemar berat” tempe-tahu goreng, saya pun setuju bahwa makanan tempat ini benar-benar berselera rumahan.
Selain makanan yang disediakan, cara penyajiannya pun “homey”. Pengunjung tidak dilayani satu per satu, terkecuali yang memesan menu a la carte. Ambil piring, pilih dan ambil sendiri nasi dan menu yang dikehendaki. Paling hanya pesanan minuman yang dilayani secara khusus. Kecuali cendol, tidak ada minuman yang dapat digolongkan “tradisional” di tempat ini.
Siang itu, saya sengaja memesan makanan a la carte yang paling mahal dan menarik (saya), Selat Solo. Well, tidak mahal juga sih. Hanya Rp 12.500 satu porsi. Sambil menunggu, saya lakukan acara cepret session. Maksudnya, potret sana potret sini. Bentuk dan jenis makanan yang disajikan bener-bener sangat berselera rumahan. Lumayan banyak, sekitar 20an jenis makanan yang ditata di sebuah meja panjang. Sempat juga saya foto Srabi Notokusuman dan Sosis Solo yang sangat terkenal itu. Ada 4 jenis Srabi yang disedikan, semuanya disesuaikan dengan selera Jakarta, yaitu isi keju, isi coklat, isi nangka dan tanpa isi. Baunya saja sudah menggugah selera. Namun, siang itu saya hanya ingin “berkonsentrasi” ke Selat Solo.
Srabi adalah salah satu andalan RM Miroso. Tidak heran kalau snack ini sering mendapat pesanan untuk catering. Pembelian dalam jumlah tertentu juga bisa dilakukan dengan delivery. Tak lama setelah urusan foto selesai, Selat Solo pesanan saya sudah siap.
Selat Solo sebenarnya adalah adaptasi oleh warga Kraton Solo, untuk makanan bestik londo. Maksudnya, beefsteak. Isinya terdiri dari daging sapi diiris agak tipis, sekitar 6-7mm, seukuran 15cm x 7cm. Daging ini dimasak seperti semur. Selain daging, dilengkapi dengan kentang goreng seukuran sedikit lebih kecil dan lebih tipis dari daging. Isi lain adalah buncis dan wortel iris rebus.Sepotong tomat segar. Lalu daun slada dan acar timun. Ada juga telur rebus, yang tinggal bagian putih telurnya saja. Kuningnya, sudah dimasak terpisah, dicampur dengan mustard. Semua bahan ini disiram dengan sedikit kuah kecoklatan berasa manis. Rasanya? Mmm, segar. Kuning telur bercampur mustard membuat masakan ini beda dengan semur.
Agar buncis dan wortel yang dasarnya berasa plain ini memiliki cita rasa, sebelum disajikan ditumis margarine dengan bawang merah, tomat potong dan lada. Kentang yang disajikan sebagai penghasil karbohidrat sengaja diiris tipis agar cepat matang saat digoreng. (Saya teringat bestik yang saya makan di kereta jurusan Yogya, kentangnya berbentuk French-fries, telurnya dadar. Mungkinkah ini yang membedakan bestik dan Selat Solo?).
Sambil menikmati si Selat, saya berbincang dengan pak Wahjoe. Agaknya tidak salah pak Wahjoe mendalami bisnis yang sebelumnya tidak pernah digeluti ini. Buktinya, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun sudah ada 3 tempat makan yang dikelolanya. Miroso pertama di Jalan Gandaria, Miroso Menteng, serta satu lagi restoran yang dimaksudkan untuk menjaring segmen pasar yang lebih tinggi. Khusus Miroso Menteng, sate Buntel dan Tengkleng tidak disajikan. Mengapa? Untuk “menghormati” penjual makanan sejenis yang sudah lebih dulu ada di tempat itu. Bagus juga.
Karyawan yang disediakan RM Miroso (di Menteng) berjumlah 14 orang. Mereka bekerja dalam dua shift, dan berasal dari kampung yang sama di Wonogiri. Ada alasan mengapa mereka berasal dari Wonogiri, satu kampung pula. Karena konsepnya adalah makanan tradisional gaya Solo, tidak ada orang yang lebih tepat untuk memasak dan menyajikan, selain orang Solo. Mereka ditarik bekerja di RM Miroso karena referensi pegawai yang sudah bekerja. Dengan demikian, tidak perlu dipusingkan dengan urusan kejujuran dan sebagainya.
Melihat keberhasilan usahanya, apakah ada salah satu dari tiga anak pak Wahjoe (si bungsu sudah hampir lulus kuliah) yang berminat menggantikannya? Belum ada, kata bapak yang gagah ini. Agaknya dua anaknya yang sudah bekerja lebih memilih bidang pekerjaannya masing-masing. Walau demikian, mereka tidak menolak membantu menjaga rumah makan yang dikelola sang ayah, pada saat liburan. Ibu Agustien, istri pak Wahjoe, berperan dalam menyiapkan bahan untuk dimasak. Pak Wahjoe sendiri bergantian menjaga ketiga restoran. Bagaimana dengan urusan kasir?
Pada umumnya, terutama untuk restoran skala keluarga, kasir adalah orang yang memiliki hubungan saudara dengan pemilik. Tidak di RM Miroso. Karyawan senior adalah mereka yang ditunjuk sebagai kasir. Sudah barang tentu, sikap mereka selama jadi karyawan juga ikut menentukan pilihan.
Saya habiskan waktu makan lebih lama dari yang seharusnya. Karena dibarengi ngobrol ke sana kemari, sambil membahas Selat Solo dan masakan lain. Biasa, omongan orang NCC. Selesai, saya minum es blewah yang terasa segar di siang panas.
Rekomendasi saya, silahkan datang ke RM Miroso jika yang anda cari adalah makanan tradisional Solo dan disajikan bergaya rumahan.
Info: 021-726 8280 (Miroso Jl. Gandaria) – WAM