Reportase Tempat Santap: Restoran Kikugawa

kikugawa

Photos & Stories by Wisnu AM
(wisnuam2003 at yahoo dot com dot au)

Setahun lalu, pertama kali saya mengetahui keberadaan restoran ini. Waktu itu seorang kawan kantor mengajak dinner di sebuah restoran Jepang yang katanya “sulit ditemukan tapi makanannya enak”. Keterangan tambahan itu yang membuat saya penasaran. Seperti apa sih restoran yang
namanya, pada awalnya, susah diingat “KIKUGAWA”.

Benar juga. Walaupun lokasinya di tengah kota, bahkan nyaris tiap hari saya lewat di dekatnya, tapi tidak akan pernah saya ketahui kalau saja tidak ada yang mengajak. Restoran yang cukup nyaman untuk bersantap sambil ngobrol berlama-lama ini beralamat di Jalan Cikini IV no 13, Jakarta Pusat, Tidak jauh dari Taman Ismail Marzuki. Jika kita bermobil dari arah Patung pak Tani ke arah Cikini, menjelang TIM belok ke kanan lalu masuk ke Jalan Cikini II Kemudian belok ke kiri lalu masuk Cikini IV dan Cari nomer 13. Atau bisa juga masuk Jalan Cikini III, lurus saja. Kikugawa ada di sebelah kiri (biar ngga binggung carinya).

Dari segi lokasi saja, Kikugawa tidak bisa disejajarkan dengan restoran “papan atas”. Untuk lalulintas dua arah, mobil harus berjalan hati-hati di Cikini IV. Tapi, jangan salah. Restoran ini tidak “menjual” lokasi. It’s all in the food. Dari luar, nampak seperti rumah biasa. Halaman parkirnya pun tidak luas. Lima mobil sudah berdesakan. Sebuah papan nama sederhana menunjukkan bahwa di rumah itu ada restoran bernama Kikugawa.

Kamis 6 Juli 2006 kemarin, saya sengaja melakukan “napak tilas” penemuan restoran ini. Kalau setahun lalu saya datang karena diajak dan curious , kali ini saya datang dengan misi NCC. Membedah dan menulis apa dan siapa pemilik restoran ini.

Jam 12 siang saya masuk ke restoran ini. Dengan diiringi suara musik Jepang, seorang waitress menyambut ramah. Rupanya saya orang pertama yang datang ke restoran ini untuk makan siang. Setelah disodori buku menu, saya pilih menu yang paling mahal, dan nampaknya paling banyak dipesan di restoran ini, Ume Set. Menu ini terdiri dari 5 jenis makanan Jepang paling favorit: Tenpura, Sukiyaki, Sashimi, Yakitori dan Sushi ditambah Miso sup. Harga menu termahal ini? Cukup Rp 87.000 saja, di luar minuman.

menu ume set

Sambil menanti menu yang saya pesan, saya bercakap-cakap dengan waiter yang sesekali mengawasi pintu, kalau-kalau ada tamu yang perlu disambut. Restoran yang ditata dengan gaya rumahan ini Kikugawa tidak terlalu luas, Jumlah pengunjung yang dapat dilayani secara bersamaan hanyalah 48 orang, termasuk 6 orang di atas “Tatami” (lesehan gaya Jepang). Walau demikian suasana dalam restoran yang ditata minimalis ini cukup nyaman, Sebuah patung geisha dan lukisan kain bermotif negeri Sakura adalah benda-benda yang menegaskan bahwa saya berada di sebuah restoran Jepang.

Restoran ini didirikan oleh Kikuchi-san, seorang laki-laki keturunan Jepang yang berkewarganegaraan Indonesia pada tahun 1969. Berdasarkan tahun berdirinya bisa jadi Kikugawa adalah restoran Jepang tertua di Jakarta yang masih beroperasi hingga saat ini. Kikuchi-san yang menikah dengan wanita asal Menado saat ini sudah berumur 80an. Saat ini operasional Restoran Kikugawa dipegang oleh bapak Paat, anak lelaki tertua Kikuchi-san.

Menu pesanan saya pun datang, Satu nampan penuh berisi 5 macam hidangan plus kecap berisi wasabi. Wahabi adalah parutan sejenis lobak Jepang “Wasabia japonica” untuk cocolan makan Sushi.

Saya jadi ingat tahun 1988 ketika pertama kali pergi ke luar negeri dan kebetulan ke Jepang, ada kejadian yang sampai dengan sekarang tidak dapat saya lupakan. Sebelum pergi, saya sudah punya “cita-cita” mau makan Sushi yang sangat terkenal itu, sesampainya di restoran dengan sok tahu, saya ambil sepotong daging ikan mentah lalu saya masukkan ke mulut. Karena sebelumnya tidak pernah ada makan daging ikan mentah dengan
sensasi yang terasa aneh, Kenyal, Terasa mau keluar lagi. Namun karena malu dengan orang Jepang yang jadi host, segera saya sambar mangkuk sop miso dan saya tenggak isinya, Sushi itupun segera terdorong masuk ke perut. Akibatnya? Dua hari saya tidak bisa menikmati rasa makanan, karena lidah saya “terbakar” kuah miso yang masih panas. Baru kemudian saya tahu bahwa makan Sushi dan Sashimi mesti “dilengkapi” dengan wasabi dan irisan jahe khas Jepang. Dengan demikiantidak ada lagi bau ikan, yang ada hanyalah sensasi luar biasa makan daging ikan atau cumi mentah yang terasa fresh sangat “alami”. Akan tetapi, perlu pembelajaran “khusus”, terutama dari rasa tersedak ke hidung, untuk tahu seberapa banyak kita mesti mencampur wasabi.

Terlalu sedikit tidak berasa, terlalu banyak bisa dapat surprise karena aromanya terasa masuk ke hidung. Di sinilah nikmatnya jadi petualang kuliner.

Hmmmmmm…..rasa lapar yang sedari tadi sudah mulai mengganggu jadi semakin tidak tertahankan. Tapi ntar dulu, harus ada photo-session sebelum makanan disantap. Cuek aja saya ceprat-cepret, sambil mematut-matut posisi makanan agar enak di foto. Kan saya member NCC, he..he…

Selesai acara percepretan, tibalah the moment of truth. Saya sempat bertanya ke waitress, makanan mana yang harus saya makan dulu, agar mengikuti rule of the game. Yang mana aja pak, katanya. Ya udah, that’s better.

Tenpura dulu yang saya sikat, Tenpura adalah udang goreng yang biasanya ditemani dengan sayuran goreng. Dimakan dengan dicelupkan ke kecap khusus. Siang itu saya dapat tiga ekor udang goring tepung, plus tiga potong buncis, dua iris tipis wortel dan sepotong terong ungu. Semua digoreng tepung. Tadinya saya berharap menemukan ubi, seperti kebiasaan di Jepang. Ternyata tidak ada. Selesai tempura, Sushi menyusul.

foto dulu ahh..:)

Menu sushi yang saya dapat terdiri dari 3 potong sushi Salmon dan 2 potong sushi Tongkol, Sama enaknya. Sayang, wasabinya terlalu sedikit. Kali ini, saya sudah “pengalaman” makan Sushi. Tidak perlu lagi dibantu kuah miso panas. Cukup minum iced lemon-tea, Itu pun karena rada haus saja.

Mungkin karena gorengan Tenpura. Tamu bule di sebelah terdengar memesan Sushi-set.

Disodok 8 potong tempura plus 5 sushi bersama kepalan nasinya, perut mulai terasa berisi. Tapi, the show must go on. Sukiyaki adalah giliran berikutnya. Sukiyaki adalah sejenis sup (plus semur kali ya, he…he), Isinya daging sapi diiris tipis, sayuran sawi, mie, plus telor ayam (yang matang karena ditaruh di atas kuah panas), ditambah dua potong tahu dengan kuah kecoklatan karena kecap. Rasanya? Mmmmm, sangat menggoda.

Daging sapi yang sedikit berlemak, dipadu dengan kuah kemanis-manisan. Lelah dengan daging, bisa menyantap sayurannya. Belum lagi tahunya.

Saya mesti ambil break beberapa saat, agar rasa kenyang yang mulai datang tidak mengganggu kenikmatan menyantap sup yang dijadikan judul lagi berbahasa Jepang ini: Sukiyaki.
Selesai dengan the queen of Nagasaki (begitu kata sepenggal bait lagu Sukiyaki), saya nikmati Sashimi. Siang itu saya dapat 3 potong Sashimi Salmon. Sebenarnya Sashimi mirip dengan Sushi, yaitu berbasis ikan mentah. Hanya saja, Sashimi Cuma berbentuk potongan daging ikan. Tidak seperti Sushi yang diletakkan di atas sejumput nasi.

sushi

Beruntung, saya sudah “menyelesaikan” urusan nasi bersama Sushi. Sehingga, tinggal “makanan ringan”, maksudnya tidak mengandung nasi, yang harus saya selesaikan. Selesai dengan urusan Sashimi, rasanya saya sudah tidak sanggup lagi meneruskan tugas menghabisi seluruh isi nampan. Masih tersisa Yakitori.

Yakitori adalah sate, terutama dibikin dari daging unggas (Yaki= panggang, Tori=burung). Selain daging, biasanya diselipkan daun bawang. Karena hanya daging ayam, Yakitori saya jadikan sebagai penutup. Sekedarnya saja, daripada sisa tidak dimakan.

Sekitar 30 menit saya habiskan waktu untuk menyantap Ume set. Begitu kenyangnya sehingga saya menolak tawaran dessert es krim. Saya hanya bersedia menyantap dua potong semangka. Iced lemon tea yang saya pesanpun tidak saya habiskan. Kuenyang euy.

Masih banyak menu lain yang nampaknya menarik untuk saya coba, di lain waktu.

Penasaran? Silahkan berkunjung ke restoran yang buka Senen-Sabtu, jam 11.30- 15.00 dan 17.30-22.00 ini. Telpon ke 021-3150668 kalau mau menanyakan jam buka atau reservasi. (WAM)

About the author  ⁄ NCC Indonesia

Comments are closed.