Stories by Wisnu AM
Photos by Wisnu AM & Awal Subandar

Mengesankan. Ungkapan paling ringkas untuk menggambarkan kesibukan Pasar Terapung di Sungai Martapura, Banjarmasin. Kesibukan menjelang fajar ini telah “diabadikan” oleh sebuah stasiun televisi swasta, untuk menandai pergantian jam tayang. Selain itu, lukisan tentang kesibukan pasar unik ini juga banyak ditemukan di Banjarmasin. Agaknya, pasar ini sudah menjadi ikon tersendiri bagi Banjarmasin.
Belum lama ini, saya melakukan perjalanan kantor di seputar Kalimantan Tengah. Port of entry dan port of exitnya adalah Banjarmasin. Setelah sepuluh hari capek keluar masuk hutan, sehari sebelum pulang rombongan sepakat untuk raun-raun menikmati lokasi wisata sekitar Banjarmasin.
Pasar terapung adalah tujuan pertama. Pasar Martapura adalah tujuan berikutnya.

Sebelumnya, kami sudah mendapat info bahwa Pasar Terapung ini adalah pasar krempyeng (salah satu istilah Jawa). Artinya, bukan pasar yang buka lama. Batas akhirnya adalah saat terbitnya matahari. Mulainya, ya sesaat menjelang matahari terbit. Oleh karena itu, kalau mau kesana, harus berangkat pagi-pagi benar.
Malam sebelumnya, kami sampai di kota Banjarmasin sekitar jam 23 malam. Rasanya jam berjalan cepat sekali malam itu. Maklum, tidak sampai 30 km kearah barat dari kota ini, dari mana kami masuk, masih berlaku WIB. Jadi, melintas sebentar saja kita sudah “kehilangan” waktu satu jam.

Rasanya belum lama kami tertidur, ketika telpon berdering. Resepsionis mengingatkan kami minta dibangunkan jam 4 pagi. Wuah. Rasanya masih ngantuk. Kalau saja tidak terbayang eksotisnya Pasar Terapung, rasanya mau tidur terus. Jetlag lokal, he..he…Sambil ngantuk, mandi. Setengah jam kemudian udah siap di lobby hotel.
Lima menit. Sepuluh menit. Limabelas menit. Tigapuluh. Mana itu mobil? Kami hubungi no HP sopir yang kami carter, mailbox. Sebal rasanya. Tahu gini, tidur terus aja. Jam 5.15 baru datang mobil yang kami carter. Terlambat hampir 45 menit. Alasannya, klasik, HPnya direcharge. Mobil segera melaju, menyusuri jalanan kota yang masih sepi. Tidak banyak lalulintas yang menyertai mobil kami. Saya pikir kami dibawa ke kota Martapura. Ternyata untuk menuju lokasi Pasar Terapung kita start di sekitar kota Banjarmasin.
Tepatnya, kita menuju ke mesjid (konon) tertua di Banjamasin, yaitu mesjid yang dibangun oleh Pangeran Antasari. Agaknya, warga setempat sudah bisa menduga bahwa setiap warga “asing” datang ke lokasi itu pasti mencari Pasar Terapung. Bagusnya lagi, di sebelah mesjid pangeran Antasari terdapat lokasi parkir yang cukup luas. Sudah ada tiga mobil yang “mendahului” kami parkir.

Di seberang tempat parkir, ada dermaga kecil. Sebuah perahu klotok segera menyambut kami. Tanpa banyak berdebat, kami sepakati ongkos “carter” perahu dari depan mesjid pangeran Antasari, ke Pasar Terapung, pulang pergi. Berlima, kami naik. Perahu klotok pun mulai jalan. Di langit, semburat keunguan mulai nampak di sebelah timur. Petualangan pun dimulai.
Tanpa jaket, udara pagi terasa agak dingin juga. Kami berlayar menghilir sungai selebar 25 meteran. Di kiri kanan rumah, tempat ibadah, bengkel dan sebagai saling berdempet. Aktivitas pagi mulai nampak. Di beberapa rumah, nampak orang mulai mandi. Atau sedang menggosok gigi. Di sungai? Iya.
Sulit untuk dibayangkan bagi kita yang tinggal di Jawa, di mana sungai itu identik dengan timbunan sampah, ada orang yang membersihkan diri dengan air sungai. Tapi, itu lah. Bukan cuma di tempat ini. Di tempat lain pun, banyak orang yang langsung menggunakan air sungai untuk aktivitas kesehariannya. Menjelang masuk ke alur sungai Barito, nampak lampu-lampu kapal besar yang sedang sandar. Sesekali, alun besar mulai menggoyang perahu kami. Ikuti goyangan kapal, jangan dilawan, saya katakan ini kepada kawan yang kuatir dengan goyangan kapal klotok kami.

Nasehat ini saya terima dari warga setempat. Kalau kita takut dan “melawan” goyangan kapal. Kita akan capek sendiri dan justru malah akan mabuk. Santai saja. Toh klotok akan kembali ke posisi semula.
Klotok kemudian berbelok ke kanan, memasuki alur sungai Barito. Langit semakin menerang. Kini sungai menjadi terasa sangat lebar. Kalau Cuma 500 meter mungkin ada. Klotok terasa sangat kecil. Alun ombakpun makin terasa. Tidak sampai 10 menit kemudian, sampailah kami ke lokasi yang disebut sebagai Pasar Terapung. Sebenarnya lokasi ini berada di sebuah muara anak sungai, di sisi rakit kayu-kayu gelondongan yang akan diolah di sebuah kilang kayu. Jadi, bukan di alur utama sungai Barito. Di situlah belasan, atau 20-30 buah klotok besar kecil, perahu dayung, berinteraksi membentuk “pasar”. Ada kelompok perahu yang membawa sayur mayur, buah, kelapa dan berbagai barang keperluan sehari-hari.
Mereka adalah kelompok pedagang. Perahu-perahu kelompok pembeli datang dan pergi.

Takjub rasanya menyaksikan kelincahan ibu-ibu yang sudah berusia lanjut, mendayung perahu kecilnya, menyelip diantara perahu-perahu yang kadang saling berbenturan karena digoyang ombak perahu yang lewat. Dengan suasana yang masih agak gelap, agak sulit buat saya untuk mengambil gambar. Jika tidak dekat sekali, lampu blitz tidak mampu menerangi obyek foto. Ya sudah, cukup menikmati suasana secara visual
saja. Puas, klotok kembali bergerak.
Di dekat kumpulan pedagang-pembeli, kembali mesin klotok dimatikan. Sebuah perahu klotok penumpang nampak melewati kami. Di bagian depannya, sepasang suami istri bule yang sudah agak berumur nampak asyik menikmati pemandangan. Si suami duduk membelakangi haluan, memandang ke samping kanannya. Di depannya, si istri sibuk memotret suasana pasar. Sama seperti kami. Turis. Pagi itu, setidaknya kami melihat
3 klotok berisi turis seperti kami. Cirinya jelas. Penumpang perahu mengambil foto.
Setelah cukup menikmati suasana dan mengambil foto, kami tinggalkan suasana pasar. Kami ingin menikmati satu pengalaman lagi di tempat itu.

Makan di kapal warung. Klotok pun menghilir ke arah alur Barito. Dulu, sepanjang Barito terdapat puluhan pabrik kayu olahan dan pabrik kayu lapis. Dengan habisnya hutan di sekitar Kalsel dan Kalteng, pabrik itupun mati satu persatu. Gantinya, batubara. Pagi itu sebuah tug-boat nampak menarik tongkang dengan batubara menggunung di atasnya, menuju ke arah hilir Barito.

Di suatu tempat di alur Barito, di muara sungai tempat klotok kami sewa, klotok mendekati sebuah klotok besar yang membuang sauh. Itu lah kapal warung yang kami tuju. Namanya, Warung Makan Goyang Terapung. Pelan-pelan, klotok kami mendekat dari arah buritan. Dengan sigap seseorang berdiri di buritan, lalu membantu klotok kami merapat. Kami pun berpindah ke klotok Goyang Terapung.
Soto Kuin, Rawon, Masak Habang adalah makanan yang tersedia di kapal warung ini. Soto Kuin. Tadinya saya penasaran mengetahui namanya.
Kuin adalah bahasa Betawi yang artinya puing (rumah). Rasanya, makanan ini pantas dicoba. Ya udah, soto kuin plus kopi saja. Pasti nikmat minum kopi di pagi hari, di tengah semilirnya angin Barito dan goyangan kapal.

Ada tiga orang yang melayani klotok warung ini. Seorang bapak berumur 40an, yang bertindak sebagai “kapten”, sekaligus menyiapkan makanan yang dipesan. Seorang bapak lagi, umurnya lebih muda. Dia bagian menyiapkan minuman. Katanya, dia adik ipar bapak pertama tadi. Yang ketiga adalah seorang anak laki-laki, sekitar 16 tahun. Dia adalah anak bapak yang pertama. Perahu warung seperti ini bagaikan warung di darat. Para pedagang sering mampir di tempat ini, untuk ngopi atau sarapan. Di sekitar Pasar Terapung, kata bapak ini, ada 3 klotok warung lain. Uniknya, semua berasal dari Kuin. Dan masih berhubungan saudara. Ah, rupanya Kuin itu nama daerah menuju ke mesjid Antasari. Hebat juga ya, karena Soto Kuin juga saya temukan di Kuala Kapuas, Kalteng.

makan soto di atas perahu

Soto Kuin saya pun tiba. Isinya seperti soto biasa, dengan potongan daging ayam goreng. Hanya saja, kuahnya agak kental. Seperti bersantan. Selain itu, yang membedakan dengan soto lain, adalah potongan telor bebek rebus, dengan bagian kuning berwarna kemerahan. Kemerahan? Iya. Telor bebek Banjarmasin memang kuningnya berwana khas. Enak juga sih, sarapan soto. Apalagi sambil minum kopi.
Sambil makan saya wawancarai awak (dan pelayan) perahu. Di perahu warung ini makanan disiapkan di bagian haluan. Di belakang ruang kemudi. Di tempat itu orang bisa sambil setengah berdiri. Di belakangnya, minuman disiapkan. Di tempat itu, seperti pembeli, menyiapkan minuman hanya bisa dilakukan sambil duduk. Dalam keadaan penuh, perahu ini bisa menampung sampai 25 orang pembeli. Mereka duduk saling membelakangi, ke arah sisi perahu. Di sepajang sisi perahu terdapat meja kecil. Karena hanya ada kami berlima dan 3 pengunjung lain, kami leluasa duduk menghadap mana saja.

Saat soto yang sedang saya nikmati hampir habis, tiba-tiba terlihat pemandangan yang membuat saya kaget dan kepingin ketawa ngakak. Di bagian depan, rupanya ada perahu klotok lain yang tertambat. Penumpangnya makan. Setelah selesai dan membayar, oleh bapak yang ada di depan piring bekas makan pun dicelupkan ke sungai Barito. Setelah digoyang-goyangkan beberapa kali, piringpun nampak bersih dan segera ditaruh di rak. Sama dengan gelasnya. Praktis sekali bukan?
Dalam perjalanan pulang menuju tempat tambat klotok yang kami sewa, saya menanyakan apakah kawan saya tadi melihat adegan cuci piring di sungai. Mereka ketawa ngakak sambil bilang ya lihat lah. Ya udah, mau apa lagi. Mudah-mudahan aja tidak sakit perut. Untungnya, kami semua tidak ada yang sakit perut. (WAM)